Seratus tahun lalu (10/4/1912) Bendoro Raden Mas Dorodjatun lahir. Dia putra Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau KRA Adipati Anum Amangku Negara.
Kisah
hidupnya begitu cepat dua puluh delapan tahun kemudian, Dorodjatun yang telah
menjadi putra mahkota, naik tahta setelah ayahandanya mangkat. Di usianya yang
masih cukup muda,28 tahun, Dorodjatun harus memimpin Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Bergelar
Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mahasiswa yang baru tiba di Nederland itu
memimpin mengelola dan membawa rakyat di wilayah kekuasaannya mengarungi
masa-masa sulit di cengkraman tangan pemerintah colonial Belanda.
Ketika
Perang Asia Timur Raya pecah Sri Sultan HB IX mati-matian membentengi kekejaman
balatentara Nippon. Di masa pendudukan Jepang yang cukup singkat Yogyakarta
adalah perkecualian.
Pada
waktu Jepang memobilisasi penduduk Hindia Belanda untuk dijadikan romusha di
berbagai front perang di Sumatra hingga Burma, Sri Sultan HB IX menyodorkan
proposal lain ;proyek pembangunan kanal irigasi yang menyambungkan Kali Progo
dan Kali Opak.
Ratusan
ribu nyawa penduduk Yogyakarta terselamatkan dari petaka maut di tanah
seberang. Megaproyek kanal yang dikerjakan dengan sistem rodi itu hingga kini
dikenal dengan nama Selokan Mataram.
Kanal
itu berhasil menghubungkan air Kali Progo di barat dan air Kali Opak di timur. Tersambungkannya
ke dua aliran sungai besar itu menghadirkan jawaban dari mitos yang bekembang
sejak zaman Sunan Kalijaga.
Satu
dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa konon pernah berujar,
Yogyakarta akan semakin makmur jika kali Progo dan Kali Opak bersatu. Di era
Sri Sultan HB IX lah penyatuan itu terwujud, bukan secara alamiah, tapi dalam
bentuk saluran air sepanjang 30,8 Kilometer.
Kanal
itu tidak selesai dikerjakan dalam satu masa saja, melainkan dalam beberapa
tahap, melewati masa revolusi kemerdekaan 1945, mengurangi periode ganas 1965
dan dituntaskan pada orde pemerintah bangunan era Jenderal Soeharto.
Selokan
Mataram adalah karya nyata Sang Raja. Kemanfaatannya dirasakan ribuan hektar
lahan persawahan, ribuan petani dan ratusan ribu warga Yogyakarta dan jutaan
penduduk Indonesia dari produk pangan yang dihasilkan sawah-sawahan nan hijau
sepanjang musim.
Sri
Sultan HB IX adalah satu dari segelintir pemimpin yang berdarah biru yang
sungguh sungguh pemimpin disaat mudah maupun sulit. Memori kolektif kita
mencatatkeputusan sangat bersejarah Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ketika
bergabung dengan Replublik Indonesia.
Tiga
hari setelah Bung Karno dan Bung Hatta mendeklarasikan kemerdekaan RI, Sri
Sultan HB IX mengirimkan surat kawat ke Jakarta. Isinya, Sri Sultan HB IX
percaya lahirnya RI adalah solusi paling revosioner guna mengakhiri
kolonialisme/ imprealisme.
Sri
Sultan HB IX juga menyatakan diri sanggup berdiri dibelakang pimpinan NKRI. Pernyataan
serupa juga dikirimkan Sri Paku Alam VIII. Tanggal 15 September 1945, Sri
Sultan HB IX mengeluarkan maklumat penting.
Ia
menyatakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berbentuk kerajaan merupakan bagain
Replublik Indonesia. Kerajaan yang dipimpinnyamemiliki hubungan yang bersifat
langsung dengan Pemerintah Pusat RI, serta bartanggung jawab kepada Presiden
RI.
Ketika
pasukan Belanda yang membonceng Sekutu
kembali mencaplok Indonesia, Re[lublik Indonesia kembali tercerai berai, Bung
Karno dan Bung Hatta, Presiden dan Wapres RI berpindah ke Yogyakarta, yang
kemudian jadi ibukota Replublik Indonesia.
Pada
4 Januari 1946, Sri Sultan HB IX menyambut kedatangan Bung Karno dan rombongan
di Stasiun Tugu, saat pemerintahan RI hijrah. Inilah masa-masa paling sulit
ketika Sri Sultan HB IX ikut merawat Replublik Indonesia yang masih begitu
belia.
Perannya
begitu nyata. Sejarah dengan baik mencatat, Raja Keraton Yogyakarta itu
mengorbankan harkat, martabat dan darah birunya. Ian menyerahkan tubuh serta
nyawanya, menjadikan Replublik Indonesia tegak hingga kini. Tahtanya untuk
RAKYAT.
(xna sumber : Tribun Jogja “Satu
Abad Sri Sultan HB IX”. Kamis Legi 12 April 2012. Hal 17)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar