Jumat, 13 April 2012

SELOKAN MATARAM KARYA NYATA SANG RAJA YOGYAKARTA


              
              Seratus tahun lalu (10/4/1912) Bendoro Raden Mas Dorodjatun lahir. Dia putra Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah atau KRA Adipati Anum Amangku Negara.
                Kisah hidupnya begitu cepat dua puluh delapan tahun kemudian, Dorodjatun yang telah menjadi putra mahkota, naik tahta setelah ayahandanya mangkat. Di usianya yang masih cukup muda,28 tahun, Dorodjatun harus memimpin Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
                Bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mahasiswa yang baru tiba di Nederland itu memimpin mengelola dan membawa rakyat di wilayah kekuasaannya mengarungi masa-masa sulit di cengkraman tangan pemerintah colonial Belanda.
                Ketika Perang Asia Timur Raya pecah Sri Sultan HB IX mati-matian membentengi kekejaman balatentara Nippon. Di masa pendudukan Jepang yang cukup singkat Yogyakarta adalah perkecualian.
                Pada waktu Jepang memobilisasi penduduk Hindia Belanda untuk dijadikan romusha di berbagai front perang di Sumatra hingga Burma, Sri Sultan HB IX menyodorkan proposal lain ;proyek pembangunan kanal irigasi yang menyambungkan Kali Progo dan Kali Opak.
                Ratusan ribu nyawa penduduk Yogyakarta terselamatkan dari petaka maut di tanah seberang. Megaproyek kanal yang dikerjakan dengan sistem rodi itu hingga kini dikenal dengan nama Selokan Mataram.
                Kanal itu berhasil menghubungkan air Kali Progo di barat dan air Kali Opak di timur. Tersambungkannya ke dua aliran sungai besar itu menghadirkan jawaban dari mitos yang bekembang sejak zaman Sunan Kalijaga.
                Satu dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa konon pernah berujar, Yogyakarta akan semakin makmur jika kali Progo dan Kali Opak bersatu. Di era Sri Sultan HB IX lah penyatuan itu terwujud, bukan secara alamiah, tapi dalam bentuk saluran air sepanjang 30,8 Kilometer.
                Kanal itu tidak selesai dikerjakan dalam satu masa saja, melainkan dalam beberapa tahap, melewati masa revolusi kemerdekaan 1945, mengurangi periode ganas 1965 dan dituntaskan pada orde pemerintah bangunan era Jenderal Soeharto.
                Selokan Mataram adalah karya nyata Sang Raja. Kemanfaatannya dirasakan ribuan hektar lahan persawahan, ribuan petani dan ratusan ribu warga Yogyakarta dan jutaan penduduk Indonesia dari produk pangan yang dihasilkan sawah-sawahan nan hijau sepanjang musim.
                Sri Sultan HB IX adalah satu dari segelintir pemimpin yang berdarah biru yang sungguh sungguh pemimpin disaat mudah maupun sulit. Memori kolektif kita mencatatkeputusan sangat bersejarah Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ketika bergabung dengan Replublik Indonesia.
                Tiga hari setelah Bung Karno dan Bung Hatta mendeklarasikan kemerdekaan RI, Sri Sultan HB IX mengirimkan surat kawat ke Jakarta. Isinya, Sri Sultan HB IX percaya lahirnya RI adalah solusi paling revosioner guna mengakhiri kolonialisme/ imprealisme.
                Sri Sultan HB IX juga menyatakan diri sanggup berdiri dibelakang pimpinan NKRI. Pernyataan serupa juga dikirimkan Sri Paku Alam VIII. Tanggal 15 September 1945, Sri Sultan HB IX mengeluarkan maklumat penting.
                Ia menyatakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berbentuk kerajaan merupakan bagain Replublik Indonesia. Kerajaan yang dipimpinnyamemiliki hubungan yang bersifat langsung dengan Pemerintah Pusat RI, serta bartanggung jawab kepada Presiden RI.
                Ketika pasukan  Belanda yang membonceng Sekutu kembali mencaplok Indonesia, Re[lublik Indonesia kembali tercerai berai, Bung Karno dan Bung Hatta, Presiden dan Wapres RI berpindah ke Yogyakarta, yang kemudian jadi ibukota Replublik Indonesia.
                Pada 4 Januari 1946, Sri Sultan HB IX menyambut kedatangan Bung Karno dan rombongan di Stasiun Tugu, saat pemerintahan RI hijrah. Inilah masa-masa paling sulit ketika Sri Sultan HB IX ikut merawat Replublik Indonesia yang masih begitu belia.
                Perannya begitu nyata. Sejarah dengan baik mencatat, Raja Keraton Yogyakarta itu mengorbankan harkat, martabat dan darah birunya. Ian menyerahkan tubuh serta nyawanya, menjadikan Replublik Indonesia tegak hingga kini. Tahtanya untuk RAKYAT.
(xna sumber : Tribun Jogja “Satu Abad Sri Sultan HB IX”. Kamis Legi 12 April 2012. Hal 17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar